Copyrights @ Journal 2014 - Designed By Templateism - SEO Plugin by MyBloggerLab

Minggu, 10 April 2016

, ,

Artikel Harta Hunain

Share


         “Kalau begitu kumpulkan kaummu di penginapan unta ini.” Perkataan siapa itu? Dan siapa yang akan berkumpul di sana? Ya, Rasulullah, beliaulah pemilik sabda yang mulia itu. Dan beliau juga  yang akan ke penginapan unta itu. Lantas untuk apa? Inilah permulaan kisahnya.
Setelah menghentikan Perang Tha’if, Rasulullah mulai membagi harta rampasan dari Perang Hunain. Ya sebelum Perang Thaif kaum Muslimin telah meraih kemenangan dalam Perang Hunain. Peperangan yang diikuti pula oleh kaum Quraisy yang baru masuk Islam setelah Fathul Makkah. Walaupun baru bersyahadat, mereka langsung menyambut seruan jihad dari Rasulullah. Namun tidak bisa dipungkiri, orang-orang Quraisy itu baru mengenal Islam, hati mereka masih lemah dan akar keimanan di dada mereka juga belum kuat. Oleh karenanya Rasulullah melebihkan mereka dalam pembagian harta rampasan tersebut.
            Orang pertama adalah Abu sufyan bin Harb, dia diberi empat puluh uqiyah dan seratus ekor unta, begitu juga anaknya Yazid dan Mua’wiyah. Serta para pemimpin Quraisy dan kabilah lainnya juga mendapatkan jatah harta rampasan yang banyak pula. Sementara harta rampasan yang masih sisa, dibagikan kepada sahabat yang di dalam hati mereka telah tertancap keimanan, keculi kaum Anshar.
           Pembagian yang dilakukan Rasulullah ini sudah dipertimbangkan dengan sangat matang dan bijaksana. Sebab di dunia ini banyak orang yang bisa dihela kepada kebenaran perutnya bukan akalnya. Seperti binatang yang bisa digiring dengan seikat dedaunan yang disodorkan ke dekat mulutnya.
            Pada awal mulanya siasat beliau ini belum difahami oleh sebagian sahabat. Dan mereka berselisih faham dengan Rasulullah. Kaum Anshar misalnya, mereka tidak bisa menerima keputusan pembagian harta rampasan tersebut. Mereka menganggap kaum Anshar lah yang banyak berjasa dalam Perang Hunain ini, bukan kaum Quraisy yang baru masuk Islam itu. Tetapi mereka tidak mendapat bagian sedikitpun. Ditambah lagi muncul kasak-kusuk  di antara mereka, dan ada yang mengatakan bahwa pembagian yang dilakukan beliau tidak adil. Orang yang berkata itu telah digambarkan Rasulullah sebagai ahli dalam agama, namun sayangnya mereka keluar dari agama. Dialah seorang dari Bani Tamim, Dzu  Al-Khuwaishirah.
            Kejadian itu oleh Sa’ad bin Ubadah dilaporkan kepada Rasulullah, dan beliau bersabda, “Kalau begitu kumpulkan kaummu di penginapan unta ini.”
        Sa’ad bin Ubadah langsung melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Rasulullah, hingga seluruh kaum Anshar  berkumpul di tempat yang Rasulullah maksud. Perkumpulan ini hanya dikhususkan bagi kaum Anshar, bahkan saat beberapa Muhajirin ikut datang, mereka tidak diperkenankan masuk.
            Beliau pun mendatangi orang-orang Anshar yang telah berkumpul. Beliau memuji Allah dan memberikan pertanyaan-pertanyaan kepada mereka. Beliau bersabda, “Bukankah aku dulu datang sementara kalian dalam kesesatan, lalu Allah memberikan petunjuk kepada kalian? Bukankah kalian dulu miskin, lalu Allah membuat kalian kaya, juga menyatukan hati kalian?”
                Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih dermawan dan lebih utama.”
            Ketika mereka diam Rasulullah bersabda, “Tidakkan kalian menjawabku, wahai sekalian kaum Anshar?” Mereka menjawab, “Bagaimana kami harus menjawabmu, wahai Rasulullah? Milik Allah dan Rasul-Nya lah anugerah dan keutamaan.”
           Rasulullah bersabda, “Demi Allah! seandainya kalian mau mengatakan kalimat ini, kalian benar dan akan dibenarkan: “Engkau datang kepada kami sebagai orang yang didustakan, lalu kami membenarkanmu. Engkau datang sebagai orang yang dihinakan, lalu kami membelamu. Engkau datang sebagai orang yang terusir, lalu kami melindungimu. Engkau datang dalam keadaan tak punya apa-apa, lalu kami berkorban untuk kalian.”
            “Apakah di dalam hati kalian masih membersit harta keduniaan, yang dengan keduniaan itu aku hendak mengambil hati segolongan orang agar masuk Islam, sedangkan terhadap  keislaman kalian aku sudah percaya?”
      Belum cukup dengan itu, Rasulullah masih terus meyakinkan kaum Anshar dengan kerendahan hati dan kelembutan beliau, sampai keyakinan itu kembali pada diri dan jiwa mereka. “Ya Allah, Rahmatilah kaum Anshar, anak-anak kaum Anshar, dan cucu-cucu kaum Anshar,” itulah kalimat terakhir yang diucapkan oleh Rasulullah.
        Betapa tawadhu’ Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam, tanpa menunjukkan rasa angkuh beliau menjelaskan kepada orang-orang Anshar. Dengan itu pula, hilanglah keraguan mereka, dan mereka beriman dengan sebenar-benarnya Iman. Lantas bagaimana dengan kita? Sudahkan kita mengimani Rasulullah dengan sepenuhnya beriman? Ataukah masih ada keraguan dalam jiwa? 

Oleh: A. Yusuf Wicaksono
Referensi
  1. Syekh Syafiyyurrahman Al-Mubarakfuri, Sirah Nabawiyah
  2. Ibnu Ishaq, Syarah dan Tahqiq Ibnu Hisyam Sirah Nabawiyah

0 komentar:

Posting Komentar