“Kalau begitu kumpulkan kaummu di penginapan unta
ini.” Perkataan siapa itu? Dan siapa yang akan berkumpul di sana? Ya, Rasulullah,
beliaulah pemilik sabda yang mulia itu. Dan beliau juga yang akan ke penginapan unta itu. Lantas untuk
apa? Inilah permulaan kisahnya.
Setelah
menghentikan Perang Tha’if, Rasulullah mulai membagi harta rampasan dari Perang
Hunain. Ya sebelum Perang Thaif kaum Muslimin telah meraih kemenangan dalam Perang
Hunain. Peperangan yang diikuti pula oleh kaum Quraisy yang baru masuk Islam
setelah Fathul Makkah. Walaupun baru bersyahadat, mereka langsung
menyambut seruan jihad dari Rasulullah. Namun tidak bisa dipungkiri,
orang-orang Quraisy itu baru mengenal Islam, hati mereka masih lemah dan akar
keimanan di dada mereka juga belum kuat. Oleh karenanya Rasulullah melebihkan
mereka dalam pembagian harta rampasan tersebut.
Orang pertama adalah Abu sufyan bin Harb, dia diberi
empat puluh uqiyah dan seratus ekor unta, begitu juga anaknya Yazid dan
Mua’wiyah. Serta para pemimpin Quraisy dan kabilah lainnya juga mendapatkan
jatah harta rampasan yang banyak pula. Sementara harta rampasan yang masih
sisa, dibagikan kepada sahabat yang di dalam hati mereka telah tertancap
keimanan, keculi kaum Anshar.
Pembagian yang dilakukan Rasulullah ini sudah
dipertimbangkan dengan sangat matang dan bijaksana. Sebab di dunia ini banyak
orang yang bisa dihela kepada kebenaran perutnya bukan akalnya. Seperti
binatang yang bisa digiring dengan seikat dedaunan yang disodorkan ke dekat mulutnya.
Pada awal mulanya siasat beliau ini belum difahami
oleh sebagian sahabat. Dan mereka berselisih faham dengan Rasulullah. Kaum
Anshar misalnya, mereka tidak bisa menerima keputusan pembagian harta rampasan
tersebut. Mereka menganggap kaum Anshar lah yang banyak berjasa dalam Perang
Hunain ini, bukan kaum Quraisy yang baru masuk Islam itu. Tetapi mereka tidak
mendapat bagian sedikitpun. Ditambah lagi muncul kasak-kusuk di antara mereka, dan ada yang mengatakan
bahwa pembagian yang dilakukan beliau tidak adil. Orang yang berkata itu telah
digambarkan Rasulullah sebagai ahli dalam agama, namun sayangnya mereka keluar
dari agama. Dialah seorang dari Bani Tamim, Dzu
Al-Khuwaishirah.
Kejadian itu oleh Sa’ad bin Ubadah dilaporkan kepada
Rasulullah, dan beliau bersabda, “Kalau begitu kumpulkan kaummu di penginapan
unta ini.”
Sa’ad bin Ubadah langsung melaksanakan apa yang
diperintahkan oleh Rasulullah, hingga seluruh kaum Anshar berkumpul di tempat yang Rasulullah maksud.
Perkumpulan ini hanya dikhususkan bagi kaum Anshar, bahkan saat beberapa
Muhajirin ikut datang, mereka tidak diperkenankan masuk.
Beliau pun mendatangi orang-orang Anshar yang telah
berkumpul. Beliau memuji Allah dan memberikan pertanyaan-pertanyaan kepada
mereka. Beliau bersabda, “Bukankah aku dulu datang sementara
kalian dalam kesesatan, lalu Allah memberikan petunjuk kepada kalian? Bukankah
kalian dulu miskin, lalu Allah membuat kalian kaya, juga menyatukan hati
kalian?”
Mereka menjawab, “Allah dan
Rasul-Nya lebih dermawan dan lebih utama.”
Ketika mereka diam Rasulullah
bersabda, “Tidakkan kalian menjawabku, wahai sekalian kaum Anshar?” Mereka
menjawab, “Bagaimana kami harus menjawabmu, wahai Rasulullah? Milik Allah dan
Rasul-Nya lah anugerah dan keutamaan.”
Rasulullah bersabda, “Demi
Allah! seandainya kalian mau mengatakan kalimat ini, kalian benar dan akan
dibenarkan: “Engkau datang kepada kami sebagai orang yang didustakan, lalu kami
membenarkanmu. Engkau datang sebagai orang yang dihinakan, lalu kami membelamu.
Engkau datang sebagai orang yang terusir, lalu kami melindungimu. Engkau datang
dalam keadaan tak punya apa-apa, lalu kami berkorban untuk kalian.”
“Apakah di dalam hati kalian
masih membersit harta keduniaan, yang dengan keduniaan itu aku hendak mengambil
hati segolongan orang agar masuk Islam, sedangkan terhadap keislaman kalian aku sudah percaya?”
Belum cukup dengan itu, Rasulullah masih terus
meyakinkan kaum Anshar dengan kerendahan hati dan kelembutan beliau, sampai
keyakinan itu kembali pada diri dan jiwa mereka. “Ya Allah, Rahmatilah kaum
Anshar, anak-anak kaum Anshar, dan cucu-cucu kaum Anshar,” itulah kalimat
terakhir yang diucapkan oleh Rasulullah.
Betapa tawadhu’
Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam, tanpa menunjukkan rasa
angkuh beliau menjelaskan kepada orang-orang Anshar. Dengan itu pula, hilanglah
keraguan mereka, dan mereka beriman dengan sebenar-benarnya Iman. Lantas bagaimana
dengan kita? Sudahkan kita mengimani Rasulullah dengan sepenuhnya beriman?
Ataukah masih ada keraguan dalam jiwa?
Oleh: A. Yusuf Wicaksono
Referensi
- Syekh Syafiyyurrahman Al-Mubarakfuri, Sirah Nabawiyah
- Ibnu Ishaq, Syarah dan Tahqiq Ibnu Hisyam Sirah Nabawiyah
0 komentar:
Posting Komentar